Kamis, 05 Juli 2012

2 Resensi Kitab Hadits (Al-Muwaththa') Karya Imam Malik


SEKILAS TENTANG KITAB AL-MUWATTHA’
Oleh : Muhammad Ma’sum 08110005

Penulis mencoba memaparkan beberapa hal terkait dengan karya Imam Malik, al-Muwattha’. Dengan tulisan ini penulis memfokoskan pada beberapa pembahasan saja, diantaranya: judul, penulis, isi, sistematika dan beberapa pendapat ulama tentang kitab al-Muwattha’
            Banyak pendapat tentang latar belakang penyusunan al-Muwattha’, diantaranya karena adanya konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-Abbasiyyah, yang melahirkan kelompok besar (Khawarij, Syi’ah-Keluarga Istana) yang mengancam integritas kaum muslim.
Pendapat lain mengatakan, penyusunan al-Muwattha’ dikarenakan adanya permintaan dari Khalifah Ja’far al-Mansyur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang sangat prihatin pada perbedaan fatwa dan pertentangan yang tengah berkembang saat itu, dan mengusulkan pada Khalifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima semua pihak. Kemudian Khalifah Ja’far meminta Imam Malik untuk menyusun kitab hukum sebagai kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Tapi ada pendapat yang berbeda juga, mengatakan bahwasanya Imam Malik memang punya keinginan yang kuat untuk menyusun kitab agar umat Islam mudah dalam memahami agama.

  1. Judul Kitab

Kitab al-Muwattha’ lil Imaami Maalik” adalah kitab yang di dalamnya terdapat kumpulan hadits-hadits yang disusun oleh seorang tokoh muslim berdarah Madinah selama 40 tahun lamanya. Kata "al-Muwattha’” adalah asli dari Imam Malik dan disusun bab demi bab dengan tema Fiqh.
Terjadi beberapa pendapat tentang nama dari salah satu kitab tertua produk abad ke-2 H ini. Diantaranya:
Pertama, sebelum kitab ini disebarluaskan, terlebih dahulu disodorkan pada 70 ulama ahli Fiqh Madinah.
Kedua, karena kitab tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan mejadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
Ketiga, berpendapat bahwa penamaan kitab al-Muwattha’ merupakan perbaikan dari kitab Fiqh sebelumnya.

  1. Penulis Kitab

            Kitab al-Muwattha’ disusun oleh Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amri ibn ‘amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn ‘Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani, atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Dari nasabnya, Imam Malik mempunyai silsilah yang sampai pada tabi’in besar (Malik) dan kakek buyutnya (Abu ‘Amir) salah seorang sahabat yang selalu mengikuti peperangan pada masa Nabi Muhammad saw. Terdapat perbedaan pendapat dari kalangan para sejarawan tentang tahun kelahiran tokoh yang lahir di Madinah ini, diantara pendapat itu ada yang mengatakan pada tahun 90 H, 93 H, 94 H, bahkan ada pula yang mengatakan 97 H. akan tetapi mayoritas para sejarawan cenderung menyatakan bahwa beliau lahir pada tahun 93 H pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdullah ibn Marwan dan meninggal pada tahun 179 H. terjadi perbedaan juga tentang wafatnya Imam Malik. Ada yang berpendapat bahwa Imam Malik wafat pada tanggal 11, 12, 13, 14 bulan Rajab 197 H. Menurut Qadi Abu Fadl Iyad, beliau wafat setelah berusia 87 tahun, yakni pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 179 H. dan pandangan inilah yang paling banyak diikuti. Setelah sebulan lamanya beliau menderita sakit, beliau wafat dan dikebumikan di kuburan Baqi.

  1. Sistematika Kitab

            Kitab al-Muwattha’ merupakan kitab hadis yang bersistematika fiqh. Kitab yang di tahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadis. Adapun perincian kitab al-Muwattha’ sebagai berikut :

A.    Juz 1 meliputi :
    1. Waktu-waktu shalat terdiri 80 tema dan 30 hadits.
    2. Bersuci terdiri 32 tema dan 115 hadits.
    3. Shalat terdiri 8 tema dan 70 hadits.
    4. Lupa terdiri 1 tema dan 3 hadits.
    5. Shalat jum’at terdiri 9 tema dan 21 hadits.
    6. Shalat pada bulan ramadhan terdiri 2 tema dan 7 hadits.
    7. Shalat malam terdiri 5 tema dan 33 hadits.
    8. Shalat berjama’ah terdiri 10 tema dan 32 hadits.
    9. Mengqasar shalat dalam perjalanan terdiri 25 tema dan 95 hadits.
    10. Dua hari raya 7 terdiri dari 7 tema dan 30 hadits.
    11. Shalat dalam keadaan takut terdiri 1 tema dan 4 hadits.
    12. Shalat gerhana matahari dan bulan terdiri 2 tema dan 4 hadits.
    13. Shalat minta hujan terdiri 3 tema dan 6 hadits.
    14. Menghadap kiblat terdiri 6 tema dan 15 hadits.
    15. Al-Qur’an terdiri 10 tema dan 49 hadits.
    16. Shalat mayat terdiri 16 tema dan 59 hadits.
    17. Zakat terdiri 30 tema dan 55 hadits.
    18. Puasa terdiri 22 tema dan 60 hadits.
    19. I’tikaf  terdiri dari 8 tema dan 16 hadits.
    20. Haji terdiri 83 tema dan 255 hadits.

  1. Juz 2 meliputi:
    1. Jihad terdiri 21 tema dan 50 hadits.
    2. Nadhar dan sumpah terdiri 9 tema dan 17 hadits.
    3. Qurban terdiri 6 tema dan 13 hadits.
    4. Sembelihan terdiri 4 tema dan 19 hadits.
    5. Binatang buruan terdiri 7 tema dan 19 hadits.
    6. Aqiqah terdiri 2 tema dan 7 hadits.
    7. Faraid terdiri 15 tema dan 16 hadits.
    8. Nikah terdiri 22 tema dan 58 hadits.
    9. Talaq terdiri 35 tema dan 109 hadits.
    10. Persusuan terdiri 3 tema dan 17 hadits.
    11. Jual beli terdiri 49 tema dan 101 hadits.
    12. Pinjam meminjam terdiri 15 tema dan 16 hadits.
    13. Penyiraman terdiri 2 tema dan 3 hadits.
    14. Menyewa tanah, 1 tema dan 3 hadits
    15. Syufa’ah, 2 tema dan 4 hadits
    16. Hukum, 41 tema dan 54 hadits
    17. Wasiyat, 10 tema dan 9 hadits
    18. Kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tema dan 25 hadits
    19. Budak Mukatabah, 13 tema dan 15 hadits
    20. Budak Mudarabah, 7 tema dan 8 hadits
    21. Hudud, 11 tema dan 35 hadits
    22. Minuman, 5 tema dan 15 hadits
    23. Orang yang berakal, 24 tema dan 16 hadits
    24. Sumpah, 5 tema dan 2 hadits
    25. al-Jami’, 7 tema dan 26 hadits
    26. Qadar, 2 tema dan 10 hadits
    27. Akhlak yang baik, 4 tema dan 18 hadits
    28. Memakai pakian, 8 tema dan 19 hadits
    29. Sifat Nabi Saw., 13 tema dan 39 hadits
    30. Mata, 7 tema dan 18 hadits
    31. Rambut, 5 tema dan 17 hadits
    32. Penglihatan, 2 tema dan 7 hadits
    33. Salam, 3 tema dan 8 hadits
    34. Minta izin, 17 tema dan 44 hadits
    35. Bid’ah, 1 tema dan 3 hadits
    36. Kalam, 12 tema dan 27 hadits
    37. Jahannam, 1 tema dan 2 hadits
    38. Shadaqah, 3 tema dan 15 hadits
    39. Ilmu, 1 tema dan 1 hadits
    40. Dakwah orang yang teraniaya, 1 tema dan 1 hadits
    41. Nama-nama Nabi Saw., 1 tema dan 1 hadits

  1. Isi Kitab

Al-Muwattha’ berisi uraian konprehensif mengenai praktek normal dan baku yang dianut di Madinah. Salah satu kelebihan dari kita al-Muwattha’ sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (1114-1176 H.) bahwa ia tidak hanya mencakup hadits-hadits doktrinal seperti yang ada pada al-Kutub al-Sittah, akan tetapi juga mengandung praktek-praktek aktual dan historis serta petunjuk-petunjuk dari Nabi Saw. dan para sahabat. Bahkan al-Dahlawi menyatakan bahwa hadits-hadits yang dimuat di al-Muwattha’ sanadnya lebih unggul dari al-Kutub al-Sittah. Dengan demikian dia lebih menyukai al-Muwattha, karena di dalamnya memuat banyak referensi dari kesepakatan ashab al-salaf dan dalam beberapa hal juga memuat qaul tabi’in yang menyangkut masalah-masalah yang tidak ada keterangannya dari Nabi Saw. dan para sahabat. Akan tetapi, Imam Malik juga memasukkan di dalamnya hadits mursal dan mauquf dengan catatan sanadnya bersambung. Demikian juga dengan hadits balaghat (hadits yang diriwayatkan dengan kata-kata balaghani), yang menurut al-Bukhari merupakan hadis yang cela (‘illat), akan tetapi dibantah oleh Imam Malik. Selain dari yang tersebut, al-Muwattha’ juga memuat fatwa-fatwa Imam Malik sendiri tentang masalah-masalah fiqh. Karena itu lah ada ulama yang berpendapat bahwa al-Muwattha’ pada hakekatnya kitab fiqh, atau kitab hadits yang berjiwa fiqh.

Kitab al-Muwatta’ ini, mengandung hadits-hadits Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahl Madinah dan pendapat Imam Malik. Akan tetapi terjadi persesihan pendapat dari kalangan para ulama tentang jumlah hadits yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’, antara lain;

a.       Ibnu Habbab yang dikutip oleh Abu Bakar al-A’rabi dalam syarah al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadits yang disaring dari 100.000 hadits.
b.      Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf  dan 285 qaul tabi’in.
c.       Al-Harasi dalam “a’liqah fi al-Usul” mengatakan kitab Imam Malik memuat 700 hadits dari 9000 hadits yang telah disaring
d.      Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab al-Muwattha’.
                     
Faktor utama yang melatar belakangi dari timbulnya perbedaan tersebut, terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan, karena ulama menghitung hadits –hadits tersebut hanya berdasarkan pada hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saja, bahkan ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang termaktub dalam kitab al-Muwattha’ tersebut.
 Menurut Muhammad Abu Zahra, al-Muwattha’ secara terperinci sebagai berikut:
a.       Hadits-hadits tematik tentang Fiqh hasil ijtihad pribadi Imam Malik;
b.      Amalan produk madinah yang telah menjadi konsensus (ijma’);
c.       Pendapat-pendapat tabi’in yang dijumpainya;
d.      Pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in yang tidak dijumpainya;
e.       Ijtihad Imam Malik bersandar pada hadits Nabi, fatwa dan keputusan para sahabat;
f.       Pendapat-pendapat yang termasyhur di Madinah;
g.      Pendapat-pendapat dan fatwa tabi’in.

  1. Pendapat Para Ulama

            Terdapat beberapa pendapat dari penilaian para ulama dalam menilai kitab al-Muwattha’, diantaranya:
a.       Imam al-Syafi’i berkata:
·         Tidak ada kitab di muka bumi ini yang lebih shahih setelah al-Qur’an daripada kitab al-Muwattha’ Malik
·         Tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih bermanfaat dari kitab al-Muwattha’  Malik
·         Saya tidak melihat dalam kitab al-Muwattha’ kecuali penambahan pemahaman dan ilmu

b.      Imam Ahmad berkata:
·         Alangkah lebih baiknya bagi orang yang bersandar pada kitab al-Muwattha’

c.   Ibnu Mahdi berkata:
·         Tidak ada satupun yang mendahului keshahihan hadits dari kitab Malik

d.   Al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi berkata:
·         Buah karya Malik (al-Muwattha’) adalah kitab shahih  yang pertama kali.

e.    Waliyullah al-Dahlawi menyatakan:
·         Al-Muwattha’ adalah kitab yang paling shahih, masyhur dan paling   terdahulu pengumpulannya.

Demikianlah komentar ulama ketika mencoba menilai kitab al-Muwattha’ Imam Malik.
Di sini kami akan coba

0 Kewarganegaraan


PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN
Terdapat beberapa pengertian mengenai kewarganegaraan di antaranya:
v  Kewarganegaraan dalam arti yuridis (juridische nationaliteit) dan Sosiologis (socioligische nationaliteitbegrif)
Yang terpenting dalam pengertian kewarganegaraan yuridis (juridische nationaliteit), adalah adanya ikatan dengan negara dan tanda adanya ikatan tersebut dapat dilihat antara lain dalam bentuk pernyataan tegas negara tersebut. Dalam konkretnya pernyataan itu dinyatakan dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan yang digunakan sebagai bukti adanya keanggotaan dalam negara itu.
v  Kewarganegaraan dalam arti formal dan materiil (formeel en matereel nationaliteitbegrif)
Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika hukum, sedangkan kewarganegaraan yang materil ialah akibat-akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu. Mengenai fungsi kewarganegaraan menurut Ko Swan Sik, ialah pembatasan lingkungan kekuasaan pribadi negara-negara. Salah satu akibat dari ikatan seseorang dengan negara, ialah bahwa orang tersebut tidak jatuh di bawah lingkungan kekuasaan pribadi negara asing dan di pihak lain negara mempunyai kekuasaan untuk memperlakukan segala kaidah terhadap seseorang, sebagaimana halnya dengan warga negara pada umumnya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengertian kewarganegaraan itu tanpa isi, yaitu tiada hak-hak dan kewajiban-kewajiban konkret yang melekat pada pengertian itu . Ia hanya suatu titik pertautan untuk berbagai hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh negara maupun perseorangan.

v  Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
v  Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.

v  Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.Sampul buku Praktik Belajar Kewarganegaraan diterbitkan oleh Center for Civic Education bekerja sama dengan Depdiknas.


v  Ko Swan Sik, menyatakan, bahwa kewarganegaraan dalam arti yuridis adalah ikatan hukum (de rechtsband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orang-orang tersebut jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan atau dengan kata lain warga dari negara itu (burgers van die staat zijn). Kewarganegaraan dalam arti sosiologis adalah kewarganegaraan yang tidak berdasarkan ikatan yuridis, tetapi sosial politik yang disebut natie.

Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi bangsa dari suatu negara.
Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
  1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
  2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
  3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
  4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
  5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
  6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
  7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
  8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
  10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
  11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
  12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
  1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
  2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
  3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
  1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Kewarganegaraan Merupakan Elemen Penting Demokrasi
Kewarganegaraan adalah kaitan sosial dan legal antara seseorang dan komunitas politik demokratiknya. Status kewarganegaraan menjadi pengkait sangat penting berkenaan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Bila hak dan kewajiban tidak dipenuhi, maka demokrasi tak berdaya. Kewajiban warga negara antara lain membayar pajak, membela negara bila diperlukan dan patuh pada hukum yang berlaku, menunjukkan kesetiaan pada negara, mengkritik secara kontrukstif kondisi perikehidupan warga negara dan berpartisipasi aktif memperbaiki kualitas kehidupan politik dan warga negara. Keterlibatan aktif warga negara akan mengurangi kesenjangan antara hal-hal yang ideal dan kenyataan. Bila warga negara di sebuah negara demokratik memperoleh jaminan hak-haknya, maka mereka harus bertanggung jawab atas hak-hak itu. Pertama, mereka harus menghargai hak-hak yang melekat pada orang lain. \ Kedua, mereka harus mempertahankan hakhaknya dan hak-hak orang lain bila terjadi pelanggaran hak-hak dari pihak lain. Ketiga, mereka harus menggunakan hak-haknya dengan sepenuh hati agar demokrasi bisa bekerja. Hak memilih, bebas berbicara tentang isu-isu publik, berpartisipasi aktif dalam organisasi sosial atau politik. Dewasa ini, negara-negara demokratik hanya bergantung pada lembaga-lembaga yang mampu mendorong warga negara menggunakan hak-haknya. Hanya warga Negara yang mampu melindungi keberadaan pemerintah dan negara.

Konsep kewarganegaraan adalah kunci masuk memahami demokrasi dan bagaimana demokrasi itu bekerja. Jadi, kaum remaja, kaum perempuan, kaum miskin dan kaum penyandang cacat (difable) hendaknya benar-benar tahu perihal kewarganegaraan; bagaimana hak-hak warga negara dibutuhkan dan dilenyapkan di rezim orde baru serta apa hak, kewajiban dan tanggung jawab warga negara yang melekat dan bagaimana hubungan antar hak-hak warga negara dan lembaga-lembaga kenegaraan Kaum remaja, kaum perempuan, kaum miskin dan kaum penyandang cacat harus bergerak melampaui konsep demokrasi dengan belajar dan mengalami
mendayagunakan hak-hak kewarganegaraannya di sistem pemerintahan yang demokratik. Ada tiga jenis partisipasi yang bisa digunakan yakni (1) interaksi, (2) pemantauan dan (3) mempengaruhi. Interaksi menekankan pada ketrampilan berkomunikasi dan bekerjasama dalam
kehidupan berpolitik dan bernegara. Pemantauan membutuhakn ketrampilan mencari jejak kinerja pemimpin politik dan instansi-instansi pemerintah. Sedangkan mempengaruhi perlu ketrampilan untuk mengusulkan gagasan-gagasan yang akan mempengaruhi isi kebijakan dan hasil negosiasi-negosiasi politik seperti undang-undang atau kebijaksanaan pemerintah.

Kewajiban Warga Negara
Pertama, menjalankan kewajiban terhadap negara berarti juga memenuhi kewajiban terhadap sesama warga negara lain. Misalnya, ketika membayar pajak, seorang warga negara telah membantu negara memenuhi hak warga negara lain, antara lain dalam hal penyediaan sarana kesehatan.
Kedua, kewajiban mematuhi hukum hanya prasyarat minimun. Hanya patuh sesuai dengan hukum yang ada tidak cukup membuat kehidupan bersama lebih baik. Warga negara yang pasif tidak mampu mendorong para pejabat publik untuk terus memperbaiki segi-segi yang masih belum diatur atau tidak berjalan dengan baik. Karena itu, warga negara harus melakukan tindakan bersama untuk perbaikan. Sebagai contoh, pelajar yang mau melapor pada guru jika ada jual beli narkoba di lingkungan sekolah, ibu rumah tangga yang mau melakukan pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di lingkungannya, atau ikut dalam kelompok warga lingkungan RT untuk bersama mengatur lingkungan. Hal-hal semacam ini merupakan kewajiban warga negara untuk perbaikan dan hal ini tidak bisa menunggu tangan pejabat negara untuk mengaturnya. Karena itu, bentuk Hak dan Kewajiban dapat terus berkembang sesui dengan kebutuhan dan situasi masyarakat setempat. Hal ini bisa berarti baik, asalkan tidak dipaksakan oleh suatu kelompok.(dikutip dari buku Bangga Menjadi Bangsa Indonesia)

Definisi Negara

Menurut Friedrich Hegel
“Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan
individual dan kemerdekaan universal”.

Menurut Soenarko
“Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan
negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan”.

Menurut Aristoteles
“Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada
akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kemakmuran dan kehormatan
bersama”.

Menurut Pramudya Ananta Toer
“Nama India untuk Indonesia sekarang ini berasal dari perburuan rempah-rempah Maluku mulai akhir Abad 15 oleh bangsa- banga Barat yang menyebabkan seluruh dunia non Barat dijajah oleh Barat sedang rempah-rempah yang diperebutkan berasal dari Indonesia sekarang ini, tetapi dengan "trade mark" India. Dalam kekuasaan Portugal Indonesia dinamai India Portugal. Dalam kekuasaan Belanda Indonesia dinamai India Belanda. Dan untuk mengakali agar pribumi tidak mengasosiasikan dengan India, nama ini ditulis: Hindia. Politik permainan kata. Ada dugaan mengapa Angkatan Belasan memilih nama ethnologi ini: menghindari dominasi Jawa. Sejarah telah melahirkan 2 nama untuk Indonesia sekarang, yakni Nusantara semasa kekuasaan Majapahit, yang artinya: kepulauan Antara (dua benua), dan yang lebih tua lagi Dipantara semasa kerajaan Singasari, yang berarti: Benteng Antara ( dua benua). Nama yang belakangan ini sarat makna politik karena Raja Singasari, Kertanegara, semasa pemerintahannya membuat persekutuan-persekutuan militer dengan kerajaan pantai Asia Tenggara untuk menghadang ekspansi Kublai Khan dari Utara. Dan sampai sekarang belum ada suara, suara saja, yang menghendaki dilakukan pengkoreksian”.

Definisi Warga Negara
·         Warga negara adalah orang yg tinggal di dalam sebuah negara dan mengakui semua peraturan yg terkandung di dalam negara tersebut.

·         Warga negara adalah salah satu unsur penting dalam pembentukan sebuah negara, dll.

Hak Warga Negara

·         Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hokum
·         Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
·         Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
·         Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
·         Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing2 yg di percayai, dll

Kewajiban Warga Negara
·         Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan NKRI dari serangan musuh
·         Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yg berlaku di NKRI
·         Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa, Agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yg lebih baik
·         Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah di tetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
·         Setiap warga negara wajib mentaati serta menjujung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, dll.

Kewajiban Pemerintah Terhadap Warga Negara
·         Memberikan pendidikan dasar bagi setiap warga negara
·         Memberikan rasa aman bagi setiap warga negara
·         Melindungi dan membela semua warga negara indonesia yg berada di negara lain
·         Membantu fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
·         Mengusahakan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, dll.

Secara garis besar hak warga negara tidak beda jauh/sama dari kewajiban negara kepada warga negara

PENUTUP
Untuk memahami lebih jauh mengenai warga negara dan kewarganegaraan ada baiknya dimulai dengan satu pemahaman mengenai pengertian warga negara itu sendiri dan apakah itu kewarganegaraan dalam berbagai keadaan atau lingkungan yang berbeda-beda? Dalam satu literatur warga negara memiliki padanan dalam bahasa inggris yaitu citizen (a native registered or naturalized member of a state, nation, or other political community) sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ditemukan pengertian  sebagai “penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan  keturunan, tempat kelahiran, dan mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu” dan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dirumuskan sebagai “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Kewarganegaraan sendiri memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: citizenship (the condition or status of a citizen, with its rights and duties) sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dirumuskan “hal yang berhubungan dengan warga negara; keanggotaan sebagai warga negara”, Hector S De Leon dan Emilio E Lugue, JR memberikan arti kepada istilah citizenship dan citizen sebagai berikut:
“a. Citizenship is a term denoting membership of citizen in a political society, which membership implies, reciprocally, a duty of allegiance on the part of the member and a duty of protection on the part of the state;
 b. Citizen is a person having the title of citizenship, He is members of democratic community who enjoys civil and political rights and is accorded protection inside and outside the territory of the state. Along with other citizens, they compose the political community”.
 
Emmanuel T Santos memeberikan rumusan “Citizenship is a status of an individual by virtue of which he owes allegiance to the government and whose protection se is entiled. Citizenship involves four concepts: (1) membership in a social-political group; (2) freedom of individual action; (3) protection of life, liberty, and property; (4) responsibility of the individual to the community”.
Encyclopedia Americana memberikan definisi tentang citizenship: “citizenship is a relationship between an individual and a state involving the individual’s full political membership in the state and his permanent allegiance to it.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah “segala hal ihwal yang berhubungan dengan dengan warga negara”. Dalam sumber lain ditemukan sebuah konsep kewarganegaraan yaitu “merupakan suatu keahlian kepada sebuah komunitas politik yang kini lebih biasa merupakan sebuah negara yang membawa hak-hak penyertaan politik. Seorang individu yang memiliki keahlian ini dinamakan warga negara”.
Jelaslah bahwa masalah kewarganegaraan merupakan masalah yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara. Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga Negara. Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 1 Montevideo Convention 1933:
On The Rights and Duties of States, yang dirumuskan :” The state as a person international law should possess the following qualifications: a permanent population, a dfined territory, agovernment, a capacitiy to enter relations with other states.
(Negara sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: rakyat yang permanent, wilayah yang tertentu, pemerintahan, kapasitas untuk terjun ke dalam hubungan dengan negara-negara lain).”
Bila dibicarakan mengenai hubungan warga negara dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka hubungan tersebut dinyatakan dengan istilah kewarganegaraan. Jadi istilah kewarganegaraan menyatakan hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suaru negara atau keanggotaan dari suatu negara. Dilihat dari hubungannnya dengan negara, maka istilah warganegara, rakyat dan bangsa mempunyai arti yang sama, yaitu orang yang menjadi pendukung dari negara tersebut. Perbedaannya adalah dari sudut mana mempergunakannya. Warganegara dipergunakan apabila melihat dari sudut pendukung dari negara. Rakyat dipergunakan dalam hal sebagai yang dilawankan dengan penguasa, atau sebagai kelompok yang diperintah. Sedangkan istilah bangsa menunjukkan sebagai suatu kesatuan yang dibedakan dengan kelompok lain.
Nationality dan nationals
Nationality (kebangsaan) sebagai suatu pertalian hukum harus dibedakan dari citizenship (kewarganegaraan). Citizenship adalah suatu status menurut hukum dari suatu negara yang memberi keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada individu.
Nationality sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan, yaitu ikatan seorang individu terhadap suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur dan melindungi nationals-nya, meskipun di luar negeri. Walaupun pada umumnya nationality itu dirimbag (derived, derivasi) dari citizenship, tetapi baik nationality maupun citizenship berasal dari hukum suatu negara, sedangkan international law memberi pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak dari suatu negara untuk memberikan nationality  dan perjanjian-perjanjian (treaties) mungkin mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu pula. 
Jadi perbedaan pengertian antara citizens dan nationals, ialah bahwa ‘nationals’ tidak perlu menjadi warga Negara suatu Negara, cukup apabila mereka setia atau patuh kepadanya, tanpa mereka sendiri menjadi asing. Dengan demikian pengertian ‘national’ lebih luas daripada pengertian citizen.
Pengertian hukum dari kewarganegaraan (nationality) tidak boleh dicampur adukan dengan pengertian nationality dalam pengertian sosiologis, karena kewarganegaraan dalam arti sosiologis itu berdasarkan pengertian etnik, yaitu sekelompok orang yang terikat satu sama lain karena ciri-ciri fisik tertentu yang menurun seperti persamaan keturunan, bahasa, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan mereka yakin, bahwa mereka adalah satu dan dapat dibedakan dengan orang-orang lain
Asas Kewarganegaraan  
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Pada mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli, karena hanya beranggapan bahwa karena lahir suatu wilayah negara, logislah apabila seseorang merupakan warga negara dari negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak terbatas pada tempat kelahiran semata. Orang tua tentu masih mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Masalah akan timbul ketika kewarganegaraan anaknya berlainan dengan kewarganegaraan orang tuanya sendiri. Anak memperoleh kewarganegaraan dari tempat ia dilahirkan , sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas yang baru, yaitu ius sangunis tersbut. Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orangtuanya.
Sebagian besar negara imigratif pada prinsipnya lebih menggunakan ius soli sebagai asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warga negaranya banyak merantau ke negara lain) cenderung menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganegaranya. Negara emigratif ingin tetap mempertahankan warga negaranya. Di manapun mereka berada, mereka tetap merupakan bagian dari warga negaranya. Sebaliknya negara imigratif menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negara yang baru itu.

0 Kajian Oposisi dalam Kitab An-Nawahi

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang kita famahi akah posisinya hadits Nabi dalam Islam, adalah sangat perlu untuk kita ketahui dan memahami, mulai dari asbabul wuru­dnya, sanadnya, rawinya dan lain sebagainya, hal ini juga akan berpengaruh pada kualitas hadits itu sendiri sebagai landasan hukum utama setelah al-Quran.
Dari sekian banyak kitab hadits yang berhasil dibukukan oleh para Muhaddits baik dalam betuk musnad atau lainnya, merupakan salah satu sumbangsih para ulama terdahulu dalam mengabadikan sebuah hukum yang berlaku pada zaman nabi, shabat dan untuk generasi selanjutnya. Termasuk salah satu karya As’ad Muhammad Thayib, yang mengumpulkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh dua Muhaddits terkenal yaitu Iman Bukhari dan Imam Muslim dalam kitabnya An-Nawahi.
Dengan demikian pada makalah ini, penulis mencoba menganalisis  hadits yang terdapat dalam kitab An-Nawahi dengan memakai beberapa teori. Dengan tujuan kita bisa mengetahui keistimewaan dan kelebihan kata-perkata yang ada pada hadits khususnya hadits yang terdapat dalam kitab An-Nawahi.
Harapan penulis, makalah yang sangat singkat ini mampu menambah wawasan bagi penulis dan rekan-rekan mahasiswa pada khususnya, dan untuk masyarakat luas pada umumnya tentunya dalam Ilmu Hadits.

  1. Tujuan Penulisan
·         Untuk memenuhi tugas Ulumul Hadits sebagai ganti UAS
·         Memaparkan analisa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab An-Nawahi.

  1. Rumusan Masalah
·         Apakah hadits-hadits dari semua bab yang terdapat dalam kitab An-Nawahi mengalami oposisi?

  1. Metodologi Kajian
Dalam usaha analisis hadits yang dilaukan penulis dalam penyusunan makalah ini, penulis mencoba menganalisis hadits-hadits yang terdapat dalam kitab An-Nawahi, akan tetapi penulis hanya menemukan beberapa bentuk oposisi saja, antara lain:
·         Oposisi Mutlak (at-Tadâdd al-Hâdd), yaitu: pertentangan makna secara mutlak.
·         Oposisi Kutub (at-Tadâdd al-Mutadarrij), yaitu: pertentangan makna yang bersifat gradasi.
·         Taksonomi yaitu terjadi secara berputar dan tak berujung.
·         Oposisi Hubungan (at-Tadâdd al-‘Aksî), yaitu: Makna kata-kata yang ini bersifat saling melengkapi.
Jadi dari beberapa teori yang ada, penulis tidak menemukan dari hadits dalam kitab An-Nawahi yang mengalami:
·         Oposisi Hierarkial (at-Tadâdd ar-Rutabî), yaitu: Makna kata-kata yang menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.
·         Oposisi Majemuk (at-Tadâdd al-Muta’addid), yaitu: kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.




BAB II
LANDASAN TEORI
Teori-Teori Makna Oposisi
Berikut macam-macam teori yang bisa digunakan dalam sebuah kajian makna, antara lain:
·         Oposisi Mutlak (at-Tadâdd al-Hâdd), yaitu: pertentangan makna secara mutlak. Contoh: hayy (hidup) dan mayyit (mati).
·         Oposisi Kutub (at-Tadâdd al-Mutadarrij), yaitu: pertentangan makna yang bersifat gradasi. Contoh: al-ghinâ (kaya) dan al-faqr (miskin).
·         Oposisi Hubungan (at-Tadâdd al-‘Aksî), yaitu: Makna kata-kata yang ini bersifat saling melengkapi. Contoh: bâ’a (menjual) dan isytarâ (membeli).
·         Oposisi Hierarkial (at-Tadâdd ar-Rutabî), yaitu: Makna kata-kata yang menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Contoh: satuan berat, panjang, isi, nama satuan hitungan, nama jenjang kepangkatan, dsb.
·         Oposisi Majemuk (at-Tadâdd al-Muta’addid), yaitu: kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Contoh: qâma beroposisi dengan kata jalasa, idhtaja’a, nâma dll.
·         Oposisi Taksonomi yaitu terjadi secara berputar dan tak berujung






BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kitab An-Nawahi  terdapat beberapa hadits yang mengalami oposisi, sebagaimana berikut ini:
a)      Oposisi Kutub (at-Tadâdd al-Mutadarrij)
عن أبي هريرة رضي الله عنه, أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: بادروا بالأعمال, فتنا, كقطع الليلة المظلم, يصبح الرجل مؤمنا, ويمسي كافرا ويمسي مؤمنا ويصبح كافرا يبيع دينه بعرض من الدنيا.
Dalam hadits lain
المؤمن يأكل في معى واحد, والكافر يأكل في سبعة أمعاء.
Kata مؤمن dan kata كافر mengalami makna yang berlawanan akan tetapi perlawanan tersebut tidak berlawanan secara mutlak, karena antara dua kata tersebut masih terdapat kata lain yaitu masa sekarang. Dengan demikian hadits tersebut terdapat kata yang memiliki makna gradasi.

Dalam hadits yang lain juga terdapat yang memiliki gradasi, yaiut:
من شرب في إناء من ذهب أوفضة فإنما يجرجر في بطنه نارا من جهنم.
Karena selain emas dan perak masih ada lagi yang termasuk perhiasan, yaiut tembaga.

كلوا واشربوا وتصدقوا والبسوا في غير اسراف ولا مخيلة
Antara dua kata yang bergaris bawah di atas masih memiliki kata lain. Jadi dalam kajian ini, hadits tersebut merupakan hadits yang memiliki makna gradasi.

b)     Oposisi Mutlak (at-Tadâdd al-Hâdd)
عن أبي سعيد الخدري عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا المرءة إلى عورة المرءة, ولا يفضي الرجل إلى رجل في ثوب واحد, ولا يفضي المرءة إلى المرءة في الثوب الواحد.

Dan juga dalam hadits lain:

عن أبى هر ير ة ر ضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا دعى الرجل امرأته إلى فراشه, فلم تأته, فبات غضبان عليها, لعنتها الملائكة حتى تصبح.

Pada kajian hadits yang kedua ini terjadi kasus yang berbeda dengan kajian yang terdapat pada hadits sebelumnya, yaitu antara kata الرجل dan kata المرءة merupakan bentuk oposisi mutlak, meskipun kadang terdapat pengecualian.  karena secara penjenisan kelamin khususnya manusia, hanyalah ada dua alternative, yaitu laki-laki dan perempuan.

Contoh hadits yang lain.
من لبس الحرير في الدنيا لن يلبسه في الآخرة.
Kata الدنيا dan الآخرة kata merupakan dua kata yang berlawan secara mutlak, karna dalam dunia ini hanya terdapat dua alam sebagai tempat tinggal manusia, yaitu dunia dan akhirat.

c)      Oposisi Taksonomi

عن أبي هريرة رضي الله عنه, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تختصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي ولا تخصوا يوم الجمعة بصيام من بين الأيام إن لا يكون في صوم يصومه أحدكم.
Pada kata ليلة الجمعة dan kata يوم الجمعة merupakan dua alternative yang terjadi dalam rotasi alam yang kejadiannya secara terus-menerus dan tak berujung.

d)     Oposisi Hubungan (at-Tadâdd al-‘Aksî)

عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من اشترى طعاما فلا يبعه حتى يستوفيه.
Kata اشترى dan يبعه  memiliki hubungan yang erat untuk saling melengkapi. Jadi dalam kajian ini hadits di atas merupakan hadits yang terdiri dari kata hubungan.











BAB IV
PENUTUP
Dari makalah yang berisi analisis kitab hadits yang disusun oleh As’ad Muhammad Thayib yakni kitab An-Nawahi ternyata tidak semua hadits dalam bab itu mengalami oposisi hanya pada sebagian hadits saja. Begitu juga dengan teori-teori yang ada tidak semuanya masuk di dalam kajian ini.
Demikian pemaparan hadits berdasarkan teori-teori oposisi, besar harapan penganalisis pada segenap pembaca untuk mengkaji ulang terhadap kajian yang telah penulis kaji terkait dengan relasi makna semantis.














Daftar Pustaka

Thayib, As’ad Muhammad. An-Nawahi fi al-shahihaini, Maktabah Al-Makkiyah. 1996.
Bahan Ajar Dirasah al-Hadits al-lughawawiyyah: Teori Relasi Makna Semantis.
















 

Pustaka Bahasa dan Sastra Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates